July 21, 2008

Makhluk 100 tahun

Posted in Uncategorized at 10:37 am by Mrs. Ghifary

Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Suasana gelap dihiasi terang cahaya bulan dan kilasan senter, namun masih dapat jelas terdengar suara ombak berdesir dari laut yang pasang. Belasan orang bergegas dan terus menyusuri pantai. Pantai yang walau namanya mungkin tak cukup dikenal, namun indahnya tak kalah dengan pantai – pantai tempat singgah para wisatawan asing. Terdengar sang pimpinan rombongan berkata, “Lihat di sana!! Dia sudah turun!! Cepat, masih ada cukup waktu untuk kita sampai dia benar – benar turun”.

Dan akhirnya, di sanalah dia, berjalan pelan tanpa suatu kekhawatiran. Seekor makhluk yang usianya sudah mencapai 3 digit angka, yang tak terlihat lelah walau sudah seabad mengarungi dunia. Ya, dialah penyu, hewan langka yang dilindungi dunia, namun diancam kehidupannya oleh manusia – manusia tak berakal.

Malam itu kami, rombongan mahasiswa kuliah kerja nyata suatu universitas negeri, sedang berkelana untuk mengambil kesempatan yang mungkin hanya tersedia sekali dalam seumur hidup kami. Di tengah hitam langit kami menapaki pesisir pantai Ujung Genteng, suatu pantai di daerah Sukabumi, yang jaraknya hampir satu jam dari desa kami bermukim, desa Jagamukti tempat kami mencoba berbuat sesuatu untuk negara. Tapi khusus hari itu kami meninggalkan desa kami untuk melakukan suatu petualangan, yang selama ini hanya terbayang dari gambar di televisi. Kami rela meninggalkan desa kami hanya untuk mengunjungi penyu di pantai Ujung Genteng, yang saat ini sedang musim baginya untuk menelurkan generasi – generasi baru. Dan petualangan kami pun dimulai.

Kami terbilang telat, karena bahkan setelah satu jam kaki ini membawa diri mencapai dan mengelilingi pinggir pantai di atas lembutnya pasir, sepanjang mata memandang tak terlihat oleh kami sarang bertelur penyu, penyu itu sendiri maupun telur – telur mungilnya. Sampai akhirnya pemandu kami menangkap siluet makhluk lebar yang bergerak pelan seakan membawa beban hidup di punggungya.

Seekor penyu sedang berjalan lambat ke arah laut. Usut punya usut, dia telah bertelur. Entah berapa jumlahnya, entah semungil apakah mereka, tidak ada yang bisa menjawab. Apa pasal? Sebelum kami sempat melihat telur – telur itu, ada yang telah lebih dahulu mengambil hak hidup mereka, bahkan sebelum mereka bisa menghirup nafas di bumi ini. Ya, manusia – manusia tak berbudi telah mencuri telur – telur penyu itu dari ibunya. Analisis pemandu kami itu cukup menjelaskan mengapa kami tidak menemukan sebutir telur pun di pantai itu. Namun ketiadaan telur penyu untuk dilihat tak sedikitpun mengurangi antusias kami memperhatikan sebagian kecil dari bab kehidupan satwa langka tersebut.

Pemandu pun bercerita, penyu naik ke pantai singgah untuk bertelur, kemudian dia akan kembali turun ke laut. Kesempatan yang kami dapatkan adalah untuk melihat perjuangannya turun ke laut. Subhanallaah, makhluk besar dengan kecepatan sangat lambat itupun mempesona kami. Tanpa lelah ia terus melangkahkan ke empat kakinya terus menuju laut. Pelan. Perlahan. Pasti. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, ia terus berusaha bergerak maju. Dan setiap empat langkahnya dia berhenti. Mengambil nafas, merasakan hirupan dunia untuk milyaran kalinya. Dan beristighfar (Kau tahu, bahkan rumput terinjakpun terus – menerus mengagungkan nama-Nya?). Subhanallaah, Maha Suci Allah. Betapa indahnya makhluk yang Kau ciptakan, wahai Tuhan semesta alam?? Dan betapa tak berpikirnya para manusia – manusia itu?? Para pencuri yang dengan mudahnya mengambil telur – telur dari seekor ibu penyu yang bahkan untuk mencapai dan meninggalkan sarang demi menelurkan calon generasi barunya itu membutuhkan perjuangan yang amat sangat berat. Bayangkan, hanya untuk mencapai 50meter meninggalkan telurnya menuju laut saja, penyu itu butuh waktu 30menit. Sedangkan, mungkin cukup 10menit saja bagi para pencuri untuk mengosongkan sarang. Astaghfirullaah!! Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan??

nb: tulisan ini dibuat oleh penulis berdasarkan cerita kisah nyata yang dialami dan disampaikan oleh saudara kembar penulis. Kata ‘Kami’ menunjuk pada saudara kembar penulis dan teman – teman seperguruan tinggi negerinya.